Bayang - bayang

            Suasana malam ini seperti suasana yang kurasakan empat tahun lalu, dimana aku duduk dibalkon cafe tempat aku berbagi cerita dengan seorang lelaki jangkung yang biasa ku panggil Bintang. Dia, seperti namanya, memancarkan aura yang menyilaukan. Hidung mancungnya, tinggi badannya yang sesuai dengan ukuran tubuhnya, proporsional istilah lainnya, dagunya juga panjang, senyumnya yang selalu memperlihatkan rangkaian giginya yang rapi membuat potretnya terlihat sempurna. Ah, sial, batinku. Aku masih belum bisa melupakan bayang-bayang lelaki itu.
Aku Bella, wanita yang memang lahir dan tumbuh besar di Jakarta ini, lagi-lagi merindukan seseorang yang telah lama pergi meninggalkanku tanpa sepatah kata-kata perpisahan. Entah kemana perginya lelaki yang pernah berjanji untuk mendengarkan cerita-cerita senang dan sedihku, mendengarkan cerita tentang hari-hariku mulai bangun tidur sampai menjelang tidur. Malam ini, aku sengaja mendatangi cafe yang pernah kami jadikan tempat berbagi cerita. Dibawah langit yang dihiasi kerlap-kerlip bintang, kami mengharap semesta bersahabat sehingga kami bisa selalu membagikan cerita yang berakhir tawa, bukan air mata. Tapi, kali ini hanya ada aku dan semesta, tidak ada sosok laki-laki itu ternyata harapan beberapa tahun lalu membawaku untuk bercerita kepada semesta tentang pedihnya ditinggal tanpa kabar.
Aku tak berani melakukan kebodohan dengan mengutuk diriku terus-terusan. Kepergiannya itu keinginanya jadi aku bisa apa? Aku berhenti untuk menghubunginya sejak dua tahun lalu. Sejak chatku terkirim namun tak dibaca juga, sakit. Aku kembali setelah jam tanganku menunjukkan pukul 21.00, aku bukan anak malam, itu sudah berlaku sejak aku kuliah dulu. Semenjak kerja, aku sangat sibuk bahkan untuk keluar nongkrong saja aku tidak sempat. Ya, aku bekerja disebuah percetakan majalah, tentunya aku seorang penulis harian di majalah tersebut karena aku dulu lulusan sastra.
Aku telah berusaha melupakan dia lewat kesibukan-kesibukanku dikantor, kata orang waktu bisa menyembuhkan sebuah luka tapi bagiku tidak. Aku belum bisa, walaupun kepergiannya sudah empat tahun lamanya. Aku susah sekali jatuh cinta, tapi sekalinya jatuh cinta aku akan jatuh, sejatuh-jatuhnya. Sesampainya di rumah, aku meletakkan handphoneku dimeja dekat tempat tidurku. Aku kembali melakukan rutinitas sebagai wanita yang sangat menjaga kulitnya. Tiba-tiba handphoneku berbunyi, pertanda aku menerima sebuah pesan. Dari nomor yang tidak kukenal, sepertinya nomor luar negeri
“Hi, girls, long time no see. I miss ur story, i miss u too. (Bintang)” , 11 February 2018, 21:30 WIB
Apa? Pertanda apa ini? Setelah empat tahun lamanya pergi, setelah aku berusaha membiasakan diri tanpanya bertahun-tahun, dia datang. Dia yang karenanya aku sekuat dan setegar ini. Sungguh. Air mataku kembali jatuh. Entah kusebut ini air mata apa, dibilang air mata rindu tapi begitu sesak, dibilang air mata benci tapi aku tidak pernah benar-benar membencinya. Aku, malam ini dengan sejuta partikel air yang terus turun membasahi pipi merahku, tak kuasa melihat sebuah  pesan di layar handphone.
Beberapa menit kemudian, aku membalasnya. Ya, aku tidak tahan dengan hatiku yang masih saja berdebar, ingin marah dan ingin menanyakan apa alasan kepergiannya selama ini.
“Hi, lama ya. Jadi selama ini kemana aja?11 February 2018, 21:40 WIB
aku tidak bisa berbasa-basi, aku hanya ingin alasannya saat ini.
“Maaf jika kehadiranku malam ini mengganggumu. Maaf juga atas kepergianku beberapa tahun lalu yang tidak memberimu kabar sama sekali, aku ikut orang tuaku ke luar negeri, ayahku memutuskan untuk tinggal di Jerman, aku menetap disini.” 11 February 2018, 21:43 WIB
“Lalu kenapa kamu tidak pernah menceritakan hal ini dulu? kamu membiarkanku bertanya-tanya sendirian, bahkan aku sudah beribu kali mengirimimu pesan tapi tak ada balasan.” 11 February 2018, 21:45 WIB
Emosiku tidak terkontrol, aku masih tidak terima dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
“Maaf, kamu boleh marah. Aku memang pecundang.” 11 February 2018, 21:46 WIB
“telpon yuk.” 11 February 2018, 21:47 WIB
Tidak lama kemudian, dia benar-benar menelepon. Awalnya aku hanya ingin tahu, seberapa benar ia merindukan aku. apakah rinduku atau rindunya yang paling besar. Tapi hati manusia, siapa yang tahu?
Aku dihadapkan dengan laki-laki yang membuatku nyaman beberapa tahun lalu, aku mencintai laki-laki ini. Namun aku tidak pernah menanyakan perasaannya. Aku tidak memperdulikan apakah cintaku berbalas atau aku sedang mencintai sendirian. Selama dia selalu disampingku, aku tak memperdulikan hal itu. Masih tidak ada perbincangan di telepon, tidak ada yang mau memulai, entah aku juga sudah tak seceria dulu, biasanya aku selalu bisa membawakan topik apa saja, selalu ada saja cerita yang aku bagi dengannya.
Tiba-tiba...
“Kamu tidak ingin bercerita?”tanya orang dari sebrang telepon.
“kamu dulu saja. Sekali-sekali kamu yang mengawalinya.”
“oke, kali ini aku sedang baik. aku akan bercerita. Dulu, saat aku kuliah di Indonesia, aku bertemu dengan seorang perempuan yang sangat ceria, dia kekanak-kanakan kadang, tapi hatinya lembut, dia penyayang dan pembicara yang baik, dia sangat suka jika ada yang mendengarkan ceritanya baik-baik. Sayang sekali, aku bukan pendengar yang baik baginya, aku menyakitinya dan mungkin aku sudah membunuh keceriaannya lewat kepergianku.”
“lalu? Bagaimana dengan perempuan itu?” tanyaku.
“Aku pergi tanpa pamit, karena waktu itu semua serba mendadak. Aku takut ia sedih jika aku bilang, lalu mencari seorang pendengar yang lain. Akhirnya aku putuskan untuk meninggalkannya tanpa sepatah kata perpisahan, aku berharap dia selalu mengingatku walau ku yakin, ia sangat membenciku saat ini.”
Air mataku jatuh dengan lembutnya, dia tak bilang itu aku namun mengisyaratkan bahwa yang ia maksud adalah aku. aku paham betul, gelagat ceritanya.
“Aku juga ingin bercerita, waktu itu aku bertemu dengan seorang laki-laki yang menyulap duniaku menjadi lebih berwarna. Ia mau mendengarkan apapun yang ingin aku ceritakan, entah itu tentang langit yang mendung atau matahari yang sangat terik. Dia juga menerima kegilaanku tanpa berusaha merubahku menjadi seseorang yang normal, dia, menerima aku yang seperti ini. Tapi dia jahat, dia pergi meninggalkanku, tidak mengabariku, mungkin dia tidak tau betapa rindunya aku kepadanya” aku mengatakannya dengan terus terang, entah apa jawabannya selanjutnya, yang penting hatiku sudah sedikit lega.
“aku merindukanmu, Bel. Sungguh” volume suaranya terdengar samar, seperti sedih tapi aku tidak dapat menerkanya dengan baik.
“Aku pun begitu Bin.” Jawabku singkat.

Lalu, bagaimana jika sepasang hati yang berjauhan saling merindukan? Bukankah penawar kerinduan adalah pertemuan? Jerman-Indonesia yang tidak berdekatan layaknya Bogor-Jakarta tentu tidak mudah untuk saling bertemu. Kita sama-sama diam. Tidak bisa mengobati kerinduan masing-masing. Aku yang masih sibuk bekerja, dan dia yang ternyata sedang melanjutkan S2 disana. Percakapan malam itu ditutup dengan kerinduan masing-masing. Entah kapan waktu mengijinkan pertemuan dua makhluk yang berjauhan itu bertemu.
Aku memejamkan mataku, berharap dia datang di mimpiku malam ini. Setelah menerima pesannya, aku seperti menemukan harta karun yang selama ini ku cari, kebahagiaan yang sempat pergi, kini datang kembali. Sebelum telepon ditutup tadi dia bilang akan ke Indonesia. Entah kapan waktunya, aku tunggu saja dengan meletakkan kemungkinan terburuk yaitu dia akan kembali pergi atau kembali tapi tidak menemuiku sama sekali. Dengan harapan, jika nanti aku mendapati ia tak kembali hatiku tak akan sesakit dulu lagi.

Dwi Indrawati
Banyuwangi, 11 Februari 2018.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengeluh dan Menyerah

Untukmu, sahabatku

Penghujung tahun 2018