"Maukah kamu jadi sahabatku?" gitu?

Tawa dan keceriaan mereka seolah menceritakan tentang kebahagiaan. Aku senang sekali memandanginya, walaupun aku masih termenung seorang diri disini. Mereka mungkin karib lama, sangkaku. Tapi, apa mungkin mereka sama seperti ku? orang baru disini, disekolah ini. Arrgghhh.... aku belum siap untuk beradaptasi disekolah baruku ini. Tapi seorang wanita cantik tak begitu berumur, menyapaku dengan ramah dan membawaku ke tempat yang biasa disebut kelas.
            “Anak-anak, hari ini kalian mendapat teman baru dari Jogja,” ucap bu Yun seraya menepuk punggung ku.
            “Wih, lumayan bu cantik,” ujar salah seorang siswa laki-laki dikelas itu.
            “Nah, tak kenal maka tak sayang. Gadis cantik, silahkan perkenalkan dirimu,” kata bu Yun.
            “Perkenalkan, nama saya Renjani Prameswari biasa dipanggil Renja. Saya berasal dari kota Jogja. Salam kenal.”
            “Renja, kamu duduk sama Aldo ya,” seraya menunjuk bangku kosong di pojok kanan kelas.
            “Baik bu.”
            Ini adalah hari pertama disekolah baruku. Aldo, teman sebangku ku ternyata baik. Dia memeberitahu ku nama-nama teman di kelas. Aku pun mendengarkannya. Hari itu aku masih bersama Aldo, biasanya perempuan cepat mendapatkan teman perempuan lain. Tapi ini, aku belum menemukan teman perempuanku. Aku lebih sering duduk dibangku depan kelas saat istirahat. Sesekali Aldo mengajakku ke kantin, aku terlalu pendiam, katanya.
Semenjak ayah dipindah tugaskan ke Jakarta, hari-hariku menjadi sepi. Cerita yang selalu kutulis di kota Jogja terpaksa harus kusudahi. Aku bukanlah orang yang mudah beradaptasi, aku hanya orang yang pandai tersenyum, kalau orang Jawa menyebutnya “sumeh”. Tapi biasanya orang sumeh mempunyai banyak teman. Memang, di Jakarta aku sudah mempunyai banyak teman yang aku kenal. Namun aku belum menemukan sosok sahabat disini. Walaupun hari berganti hari, atau bahkan berganti bulan. Aku masih saja bersama Aldo, teman sebangku ku. Aldo adalah kapten basket disekolahku, kita sering bersama disekolah karena kita teman sebangku. Suatu hari, pertanyaan iseng yang selalu ku tanyakan kepada temanku sewaktu di Jogja kutanyakan ke Aldo.
“Do.”
“Ha?.”
“Kamu anggep aku apa? Sahabat/teman/orang biasa?”
“Teman akrab kali ya kita, kan kita udah sering berbagi cerita,” jawabnya dengan raut wajah genit.
“Oh ya udah kalau gitu. Kalau begitu kamu harus siap ya menghadapi pertanyaan-pertanyaanku.”
“Oke sahabatku yang dari Jogja. Untuk membuatmu bahagia akan aku turuti keinginanmu.”
Jawaban Aldo membuatku terdiam. Sahabat, Aldo menganggapku sahabat ketika aku mengharapkan sahabat orang lain. Apakah mungkin persahabatan terjalin begitu singkat? Dua bulan setelah aku masuk ke sekolah ini.
Sepulang sekolah, seperti biasa. Aku merebahkan diri seraya mengingat pelajaran apa yang bisa kuambil hari ini. Tiba-tiba handphone ku berbunyi, ku geser layar dan “Fitri is calling” seketika ku geser warna hijau dilayar.
“Halo Assalamuallaikum, Renja.”
“Waallaikumsalam Fit, Fit aku kangen awakmu.”
“Lha mbok pikir aku nelpon awakmu iki aku ra duwe maksud ngono?Aku yo kangen awakmu Ren. Kepiye kabarmu?”
“Kabarku alhamdulillah apik. Semoga awakmu ndek kono sehat terus yo.”
Jogja selalu memberikan cerita. Bahasa, tutur kata dan tokohnya memberi keistimewaan tersendiri didalam ceritaku. Dan hari ini, sahabatku dari Jogja melabuhkan kerinduannya dipelabuhan rinduku.
“Kepiye opo awakmu wes duwe sahabat anyar? Ojo ngelalino aku yo.”
“Urung, gur duwe kanca akrab,” jawabku lesu.
“Lha nyapo kok koyo sedih ngono?” tanya Fitri.
“Aku belum bertemu seseorang yang seperti kalian. Aku selalu merindukan kamu, Vita, dan Wahyu.”
Logat jawaku seketika hilang. Karena yang aku bicarakan berasal dari hati. Kata-kata yang selama ini tak sanggup ku ungkapkan bahkan dengan teman sebangku sekalipun. Suara ditelepon tak kunjung memberi jawaban.
“Fit, lha nyapo ga ngomong-ngomong?” tanyaku.
“Kowe ojo sedih ae ndek kono. Awakmu kudu tetep ceria, sumeh ojo sombong. Sahabat itu datang karena sifat yang saling melengkapi. Sahabat ora nuntut kowe dadi orang lain. Sahabat bakal teko dewe tapi ora langsung teko. Semua butuh waktu, butuh proses. Emang kene ndisek opo langsung dadi sahabat? Ora kan?” jawabnya dengan bahasa campuran Jawa-Indonesia.
“Yo ora to, aku ora sombong. Ndek kene bakal tetep dadi wong sumeh. Ojo lalino aku yo Fit, salamno gawe Vita karo Wahyu.”
“Iyo, sesok tak salamno ndek sekolah. Siji engkas iki Ren, “Tidak usah bilang i love you untuk memulai persahabatan.”
“So sweet tenan kanca siji iki.”
“Cukup semene yo,  tak tutup telpone. Assalamualaikum.”
“Waallaikumsalam.”
Percakapan pun berakhir. Rindu menahun menemukan obatnya. Sahabat, tidak ada kata usai didalamnya dan jarak hanyalah sarana memupuk rindu. Angan-angan mendapat sahabat seperti mereka di Jakarta seketika sirna karena mereka tak tergantikan. Mungkin yang datang bukan yang seperti mereka, tapi sahabat lain yang akan menemaniku seperti mereka. Aldo, tak pernah berkata “Renja, maukah kamu jadi sahabatku?” Tidak, dia tak pernah berkata seperti itu. Tapi dia menyatakannya sendiri, tanpa dipaksa tanpa bertanya. Kini aku mengerti, sahabat akan datang sendiri lewat cerminan diri atau persamaan isi hati. Cukuplah aku percaya bahwa Tuhan tak akan membiarkan seseorang berjalan dibumi-Nya seorang diri.


Kamu nggak perlu bilang "I love you" untuk mendapatkan sahabat atau bilang "Maukah kamu jadi sahabatku?". Karena sahabat adalah pertemanan yang selalu terpoles oleh kebersamaan dan persamaan. :) -Dwi Indrawati-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengeluh dan Menyerah

Untukmu, sahabatku

Penghujung tahun 2018