Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2018

Hadiah untuk Nenek

(Krik – krik – krik.......) Suara jangkrik memecah keheningan malam itu. Ditambah dinginnya malam yang seolah olah ingin mematahkan tulang-tulang kakak-beradik yang sedang tidur didalam gubuk tua milik sang nenek. Namanya   Memet dan Mamat, Memet yang tertua sedangkan mamat 4 tahun lebih muda darinya. Mulai lahir mereka tinggal bersama neneknya karena orang tuanya pergi entah kemana. Karena keterbatasan biaya mereka putus sekolah dan hanya mendapat pendidikan tingkat dasar tapi dibalik semua kekurangan pasti ada kelebihan. Memet dan Mamat adalah anak yang Rajin bekerja, bekerja apa saja yang bisa mereka kerjakan. Suatu hari, saat mereka berjalan ditepi sawah ada tiba – tiba seseorang memanggilnya “Met, Mat kesini !” panggil pak karim “ya pak? Ada apa ?” jawab memet “kamu mau menjagakan kambing saya? Saya mau pulang sebentar” “mau pak dengan senang hati.” Jawab Memet Pak karim segera mempercayakan kambing – kambing nya kepada memet dan mamat Tidak lama kemudian pak k...

Percakapan dengan INFP

Sore tadi, aku mengirim pesan singkat kepada sahabatku yang sedang di Malang. Dia sahahabat laki-laki yang sering aku mintai pendapat karena terkadang aku membutuhkan sebuah jawaban dari sudut pandang laki-laki. Mungkin beberapa orang akan bertanya, "kenapa dia"?. Jadi, dia adalah seseorang memiliki pemikiran yang sama denganku, walaupun aku berkepribadian ENFJ dan dia INFP tapi -katanya- kata hasil tes MBTI sih kita sama-sama visioner jadi kita nyambung-nyambung aja kalau cerita dan saling terbuka dan ternyata ya iya.... Aku menanyakan padanya apakah aku terlihat seperti seorang introvert, katanya tidak sama sekali. Aku memiliki banyak teman dan bahkan aku memiliki julukan si ceria. Aku tahu, kalau kebanyakan anak introvert pandai memendam perasaan mereka, termasuk dia. Dan aku, adalah seseorang yang mudah sekali mengekspresikan perasaanku, oleh karena itu aku kembali bertanya padanya. ENFJ : "aku sedih, kadang salah cerita ke orang yang tidak bisa dipercaya, ber...

Bapak

Tubuhnya sudah tak setangguh dulu lagi Kulitnya telah memudar, ditambah keriput yang sudah nampak banyak diwajahnya Umurnya sudah lebih separuh abad Sesekali ia batuk, dan mengeluh pegal-pegal Aku benci kadang Benci karena sifat mengalahnya Benci karena sifat diamnya Benci karena putung rokok yang terus menerus ia hisap Tapi benciku pada sifat dan sikapnya, bukan pada sosoknya Terkadang inginku bedah isi hatinya agar aku bisa tau apa yang sebenarnya ada dalam pikirnya Karena tak sekalipun dia mengeluhkan apa yang tak ia suka Dia selalu memendamnya sendirian Tak pernah mengijinkanku mengetahui secuil rasa sakitnya Baktiku sangat belum sempurna padanya Akupun begitu tidak berani mengungkapkan kasih sayangku padanya Aku yang memanggilnya "Bapak"ini terlalu naif Padahal dulu sewaktu kecil ia lah yang menanamkan keberanian pada diriku Ia pula yang menanamkan kemandirian dalam diriku Ia tak pernah mengatakan bahwa ia sangat menyayangiku Tapi perilakunya mengisyar...

Ngomongin nikah bosen juga

Halo, selamat malam! :) Kali ini, aku ingin menyampaikan opini-opini yang akhir-akhir ini muncul dibenakku. Opini ini muncul setelah seringnya aku ngomongin masalah pernikahan. Salahku juga sih, kenapa aku -kadang-kadang- ikut terjun ke perbincangan dengan topik tersebut. Jadi, beberapa waktu lalu sempet heboh masalah nikah muda nikah muda, jadi banyak tuh temen-temen yang baper pingin seperti itu juga dan mungkin aku salah satunya. Tapi aku mikir juga, aku kan masih kuliah mustahil keluargaku mengijinkanku menempuh jalan itu. Ku tepis jauh-jauh pikiran itu, lalu bagaimana dengan menikah diusia ideal? Lagi-lagi teman kuliahku pernah membuat sebuah poster mengenai usia ideal wanita menikah, sebenarnya aku tidak begitu tertarik dengan topiknya tapi karena posternya ada dimading kampusku aku tetap saja membacanya. Kalau tidak salah, usia ideal wanita menikah diposter tersebut umur 21-25 tahun. Waktu membaca poster tersebut, usia ku 20 tahun. Sempet terlintas sebuah target untuk menikah...

Harap apa?

Sebenarnya aku takut Aku takut berharapku terlalu jauh Hingga pada akhirnya aku sendiri yang luruh Hancur karena harapanku Tapi Tidak Aku sedang tidak berharap kan? Tolong jelaskan maksud sesak dalam dada yang daritadi tertahan Mengapa bisa ia terus berdetak Berdegup seolah ingin memberontakkan kemarahannya Tolong Tolong jelaskan maksud hati yang terus berdegup Seolah aku sedang meragukan diriku Hahaha Inginku tertawa saja Menanyakan balasan daripada sebuah harapan tidaklah ada gunanya Biarlah Biarlah aku disini penuh tanya tentang rasa yang ada dalam dada Biarlah aku disini berdiri tanpa mengharap apa-apa -d.i-

Cinta Abidzar

Dahulu kala, di sebuah negeri yang bernama Aslabana tinggalah sebuah pria bernama Abidzar. Dia sangat terkenal dengan kesederhanaan dan ketaatannya kepada Agamanya. Tidak heran, dia besar dilingkungan yang agamis, ayahnya adalah pemilik dan pengasuh pondok pesantren didaerahnya sedangkan ibunya adalah anak dari seorang Kyai. Suatu ketika, Abidzar disuruh ibunya pergi ke pasar untuk membeli kelapa. Sesampainya di pasar, matanya menatap sesuatu yang membuatnya tak bisa memalingkan pandangannya. Ya, apalagi? Seorang gadis, berkerudung panjang dan berpakaian sederhana sedang mengukir senyum manisnya. Siapa gerangankah dia? Abidzar mulai bertanya-tanya. Hati dan pikirannya masih terpaku pada wanita itu. Namun ia tersadar, berlama-lama memandang seseorang yang belum halal bukanlah sebuah kebaikan. Ia pun kembali melanjutkan perjalanannya di pasar. Suatu ketika, Abidzar memberanikan diri menyatakan maksud hatinya kepada Ayahnya. "Ayah, sebenarnya ada yang Abi ingin bicarakan kepada Ayah...

Aku lupa "sederhana"

Kemarin, mungkin aku lupa kalau bahagia itu sederhana. Aku lupa kalau dengan menjadi "sederhana" saja aku sudah bisa bahagia. Entah, mungkin karena kemarin-kemarin juga aku terlalu sering melihat ke atas, atau mungkin aku sedang mengikuti standar kebahagiaan orang-orang disekitarku? ehm. Ada yang salah? jelas ada. Aku sendiri yang salah, aku lupa dengan prinsipku, aku lupa sama prinsip hidup sederhanaku, dan lupa kalau merasa "cukup" itu menenangkan.. Berpenampilan sederhana, makan sederhana, berkerudung sederhana, berdandan sederhana, njajan sederhana. Ya, untuk beberapa hal kurasa cukup sampai disini saja kelupaanku. :) Saatnya kembali, menjadi diriku yang dulu gak serempong ini. Sebenarnya aku juga takut standar hidupku akan naik kalau balik ke perantauan, tapi hati manusia siapa yang tau...  Memasang standar kebahagiaan yang terlalu tinggi sama saja menyakiti diri sendiri Sederhana saja, asal jiwamu bahagia tak apa -d.i-  

Fatamorganakah Dia?

Pernah aku bercerita kepada sahabat tentang laki-laki yang ku suka. Dia tampan, soleh, pintar, insyaAllah ngerti tentang Agama, bacaan Qurannya bagus, jika disuruh memberi nilai 1-10 aku memberi dia nilai 8,8. Entah sejak kapan rasa ini hadir, tapi entah mengapa ketika aku dekat dengannya aku tak bisa menatapnya lama-lama. Hatiku malu, tapi mau. Ibaratnya aku adalah murid dan dia seorang guru. Dia lebih tinggi daripada aku, jadi untuk menyamakan posisi itu aku butuh usaha yang menggebu kan? Dalam usahaku untuk menyetarakan aku dan dirinya kadang membuatku berputus asa. Sampai terkadang aku berpikir, fatamorganakah dia? Tapi, jodoh bukan perkara "mengapa" dan "bagaimana" kan? Jadi ku alirkan sesuatu yang bisa dibilang cinta. Ku alirkan dia bersama doa-doa dan pengharapan kepada pemiliknya yaitu Sang Pemberi Cinta. Bukankah jika sesuatu ditakdirkan untukmu, tidak akan menjadi milik orang lain bagaimanapun juga ? Selamat malam, kepada para pecinta yang tak mengh...